Setelah melihat Reportase teater Nabi Darurat Rosul Ad-Hoc, saya kembali terlena oleh dialog-dialog yang dimainkan, seakan dialog itu memang terjadi ditengah-tengah kita dan menunggu eksekusi kita. Terjadi perang supremasi kebiasaan miring yang sudah melanda. hanya ada satu solusi, memulai hal baru atau larut dalam kebiasaan miring tersebut yang mungkin bisa berakibat kita menjadi miring juga.
Dalam kemunculannya, sebelumnya disertai dengan berbagai lantunan irama Terbit rembulan dan sekonyong-konyong koder muncullah Ruwat Sengkolo, satu tokoh teater Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc Dengan iringan musik Dari Sabang Sampai Merauke, Ruwat Sengkolo meneriakkan nyanyian, “Dari Sabang sampai Ternate, berjajar pulau-pulau!”
Ki Janggan masuk panggung sambil memotong musik yang sedang dimainkan, “Apa itu, apa itu, kok gitu. Coba ulang, ulang!”
“Dari Sabang sampai Ternate, berjajar...,” ujar Ruwat, “Maaf, Guru.”
“Kok Ternate?”
“Ampun Guru, saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita nggak serius menjaga negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti Timor-Timur dulu.”
“Justru karena itu lirik lagunya harus tetap ‘Dari Sabang sampai Merauke’. Kamu sebagai generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.”
“Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!”
“Lho kok NPKRI?”
“Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru.”
“NKRI!”
“Ampun Guru, selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan kesatuan tak bisa dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah menyebut persatuan dan kesatuan sebagai terpisah. Persatuan harus kesatuan, kesatuan harus persatuan.”
“Ya, ya, ya... Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum. Yang lazim dan konstitusional itu NKRI, negara kesatuan dari beragam-ragam suku dan golongan.”
“Siap Guru! Bhinneka Manunggal Ika!”
“Bhinneka Tunggal Ika!”
“Ampun Guru, yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu manunggal, menyatu, nyawiji kata orang Jawa.”
“Sudah terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.”
“Tunggal itu satu-satunya, the only. Tuhan Yang Maha Tunggal, bukan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau esa itu bisa diteruskan ke dua, tiga – seperti bahasa Tagalog : Esa, Dalawa, Tatlu, Apat, dan seterusnya. Kalau Tunggal, tidak ada ‘dua’-nya, tidak ada ‘tiga’-nya.”
Terdengar derap suara sepatu lars menjejak lantai dalam langkah-langkah tegap. Ruwat dan Ki Janggan menepi.
“Saya Gaspol! Saya petugas kepolisian. Saya penjaga konstitusi dan penegak hukum. NKRI itu harga mati. Yang menentang NKRI, harganya : Mati! Sudah jelas cetho welo-welo, kata NKRI disebut secara tegas dalam teks Proklamasi dan UUD ’45. Barangsiapa melawan, berhadapan dengan Gaspol!”
Usai menyampaikan pesannya, Pak Gaspol kembali menghilang dari panggung.
“Itulah sebabnya Guru, sila pertama adalah ‘Tuhan Yang Maha Tunggal’.”
“Apa-apaan kamu. Sila pertama itu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.”
“Ampun, ampun, Guru mengajarkan kepadaku untuk berpikir jernih. Ketuhanan itu sifat. Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh seluruh bangsa kita bukan hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan sendiri.”
“Ruwaaaat! Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.”
“Kita menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih, bukan kemerahan dan keputihan.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dari belakang panggung. Lalu muncul sosok Pak Jangkep, ayah dari Ruwat Sengkolo.
“Keputihan, keputihan, sembelit!”
Ki Janggan dan Ruwat kaget oleh kedatangan Pak Jangkep. Masing-masing menyapa. Ruwat membimbing tangan bapaknya.
“Mohon maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat seperti anak yang salah didik.”
“Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak ini.”
“Saya tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.”
“Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi teroris, Ruwat!”
“Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan teror supaya dinamis dan kreatif.”
“Maksudku bukan teror pikiran, tapi teror... ya terornya teroris itu lho!” jawab Pak Jangkep.
“Pak Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu melanggar hukum. Negara kita ini negara supremasi hukum.”
“Ampun Guru, hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah. Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, kita tidak dipersalahkan oleh hukum. Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak menghukum koruptor, atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh hukum.”
“Kamu ini sekolahnya kebatinan kok ngomong hukum!”
“Kamu ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas hukuman, begitu?” tanya Ki Janggan.
“Bukan Guru, yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir supremasi hukum itu petugas negara. Tapi kalau rakyat, berpikirnya harus supremasi keadilan. Kalau masyarakat, fokusnya supremasi moral.”
“Owalaah Ruwaaat...Ruwaaat.. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih minta-minta, kok sempat-sempatnya mikir hukum,” ujar Pak Jangkep.
“Justru karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini pikirannya ngomyangke mana-mana, Pak Jangkep.”
“Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan. Jaksa juga harus pinter mencari kebenaran.”
“Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa?”
“Mungkin maksudnya Ruwat, Jaksa ke pengadilan tidak hanya menyeret terdakwa kejahatan, tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti jahat, Hakim menghukum. Kalau terbukti baik, Hakim memerintahkan kepada pemerintah untuk memberinya hadiah.”
“Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan pasal-pasal hukum melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat mungkin manusia melakukan kesalaan yang belum ada pasal hukumnya. Buah catur saja yang jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak penduduk Indonesia, 235 juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya? Maka Hakim harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.”
Muncul lagi dari belakang panggung Pak Gaspol, kali ini lebih garang. Yang lain kembali menepi.
“Ini negara supremasi hukum! Jangan ditambah-tambah dengan supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja sudah repot! Saya anggap, semua yang di luar supremasi hukum adalah pelanggaran hukum. Dan saya akan bertindak tegas. Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan kalua perlu buta huruf. Tidak peduli Syiah, Si B, Si C, Silalahi, Sikeas, kalau diduga melanggar hukum, akan saya panggil, saya periksa!”
Pak Gaspol lantas berjalan melintasi para narasumber, lalu memandangi deretan personil Kiai Kanjeng, “Siapa kere-kere ini? Ati-ati, jaga kelakuannya. Nanti saya pilih siapa yang teroris di antara kalian!”
Ya, saat ini, detik ini kita butuh sosok Nabi darurat, sebuah istilah yang mengambarkan sosok manusia biasa yang mempunyai intuisi, akhlak, dan pemikiran seperti halnya Nabi. Kita butuh sosok itu untuk memperbaik carut marut bangsa ini, bangsa yang besar ini tak mungkin berhasil dipimpin oleh orang yang cengeng, orang yang menganut mentalitas budak, harus dipimpin oleh sosok sekarakter Nabi. Sosok yang bisa membawa Indonesia menjadi bangsa cipratan surga.