Derasnya hujan tak menyurutkan langkah kaki menuju frekuensi ilmu, entah apa yang ada dipikiran saat itu, tepat jam 5 sore, langit dengan tangisan dan rengekan gaduhnya seakan melonggarkan waktu untuk bersegerah mengalahkan waktu on time kedua anak manusia ini.
Segalah pikiran berkecamuk menjadi satu, menggumpal seakan hendak meletus hebat dengan segala semburan-semburan prasangka.
12-12-12
"Kalaupun hari ini kiamat, mari kita mati dengan tenang di Lamongan " Seruan dari seorang Ade Rifani.
Tepat dengan tanggal istimewa suku Maya, saat itu membulatlah tekat dalam diri untuk menghadiri pagelaran musik Kyai Kanjeng di Alun-Alun Lamongan, berbekal kendaraan roda dua, saya dan ade melanjutkan langkah menuju kota yang terkenal dengan soto khasnya, soto Lamongan.
Beriringan, seakan udara dan debu menggelayut mesra membasai muka, meninggalkan bekas-bekas kegantengan dua anak manusia, mungkin akan sangat naif jika tak kukatakan dua orang manusia ini ganteng, setidaknya ini berdasarkan survey fakta tentang orang yang selalu mengatakannya, ibu.
Di jantung kota soto itu, terlihat malam berhias, pion-pion lampu berwarna terpasang disetiap sisi jalan arteri, deretan langkah kaki yang menimbulkan badai debu bisa menjelaskan betapa ramainya susana saat itu. Alunan lagu sholawat merdu dari suara khas membahana dibalik pita kaset sound sistem, alunan suara dari seorang yang menjadi tujuan frekuensi ilmu kita saat itu, Muhammad Ainun Najib atau biasa disapa dengan Cak Nun.
Tepat jam 09.00 WIB, Cak Nun memulai naik ke podium yang disediahkan, berbagai penjuru manusia mulai merapat dalam satu kemesraan depan podium, mungkin inilah hebatnya dari seorang Cak Nun. Seakan setiap forum yang disinya selalu terdapat kata kemesraan, bagaimana tidak?
Hampir setiap manusia yang hadir mempunyai latar belakang pekerjaan yang berbeda, mulai dari tukang becak, penjual rokok, ahli tawuran, pengangguran, pelajar, mahasiswa, ulama', pejabat kota sampai bupati berkumpul menjadi satu dengan kemesraan yang ada. kemesraan akan saling menghargai, menghormati dan menyayangi. Sebuah akumulasi dari cinta akan sesama manusia.
"Sebelum saya mengucapkan salam, sebelum saya menyapa semua yang ada disini. Dengan segala kerendah hatian mari kita sapa dulu Allah dengan lantunan suara Hasbunallah wani'mal wakil ni'mal maula wani'man nashir " Untaian mesra Cak Nun untuk menyapa Allah dahulu sebelum menyapa yang lain.
"Sekarang kita sapa Rosullullah Muhammad SAW dengan sholawat" untuk kedua kalinyanya Cak Nun mengajarkan setelah manyapa Allah kita sapa Rosulnya.
"assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" Sebuah janji yang terucapkan di mulut Cak Nun untuk selalu menyakinkan sekelilingnya bahwa ketika seorang mengucapkan salam maka yakinlah bahwa dia akan melindungi harta, martabat dan nyawa saudaranya dan manusia yang lain, sebuah janji yang tertuang dalam sebaris makna salam.
Dentuman-dentuman gamelan, petikan-petikan gitar, gesekan-gesekan biola memainkan satu kesatuan irama yang indah, kolaborasi dari segala lantunan alat musik terakumulasi menjadi alunan bunyi yang nyaman terdengar telinga, sepertihalnya alunan suara jazz, dangdut, pop, gambus, dan sholawat dari setiap personel vokal Kyai Kanjeng semakin memanjakan telinga.
Baik, Benar dan Indah
Cak Nun memulai dengan menerangkan makna nilai yang sesuai, Semua hal yang selalu terinclude baik, benar dan indah. Semacam dikotomi dari ketiga unsur nilai itu telah tercipta dilingkungan saat ini. Bahwa ketiga nilai itu seolah berdiri sendiri tanpa sebuah deretan fungsi yang saling membutuhkan, baik dan buruk sendiri, benar dan salah sendiri serta indah dan jelek sendiri, saat ini kita memasuki lembah yang mendikotomi ketiga nilai tersebut, Cak Nun memulai penjelansannya dengan bertanya kepada para hadirin, misal, seorang ulama' ketika ketahuan masuk tempat pelacuran, apa dia masih dipandang seorang ulama'? serentak semua menjawab tidaaaaaak, karena ulama hanya bertugas dengan nilai baik atau buruk. Seorang profesor ketika ketahuan masuk ke tempat pelacuran, apa dia akan dicabut pangkat profesornya? semua menjwab sama tidaaaaaak, karena profesor hanya bertugas dengan benar atau salah.
Indah, Cak Nun memulai menerangkan keserasian ketinganya dengan sebuah contoh seorang yang bertamu, saat ada tamu dirumah kita, kita mengajaknya masuk, ini baik atau buruk? semua serentak menjawab baiiiiiiik, saat sudah duduk kita menyuguhkan minuman ke tamu, ini benar atau salah? semua menjawab benaaaaaaarr?, lalu etika kita menyuguhkan minuman ke tamu, kita lakukan dengan nggrojokno nang cangkeme tamu, ini indah atau jelek? semua serentak jeleeeeeek, jadi kita tahu bahwa indah itu bukan hanya pelengkap dari baik dan benar tapi lebih dari diatasnya baik dan benar.
secara fiqih kita sudah sah memuliahkan tamu dengan baik dan benar, tapi secara keserasian hal itu tidak terlihat enak dipandang, inilah yang mengakibatkan bahwa baik, benar dan indah ini tidak bisa terpisahkan satu sama lain.
Dikotomi antara baik, benar dan indah inilah yang menyebabkan kita berpeluang menjadi orang yang pekok, sebutan untuk seorang yang gimana gitu, saya juga tak bisa mengartikan kata pekok kedalam bahasa indonesia, karena meski telihat kotor namun estetika dari kata pekok ini telihat lebih enak ditelinga.
Jowo digowo, Arab digarap, barat diruwat
Cak Nun menguraikan bahwa
Dibalik ingatan saya ini yang lemah, dibalik seribu kekurangan saya yang terlampu banyak, dengan segala kerendahan hati, saya haturkan beribu-ribu maaf atas segala peristiwa yang dikira tak sesuai dengan kenyataan, saya hanya manusia pekok tadi yang mencoba mereview acara tadi dalam batas-batas ingatan saya.
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Ingin kukenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram disampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu
Bersamamu
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
sampaikan unek-unekmu....!!!