"... Bukan gunungnya yang harus ditaklukan tapi diri kita.."
Disela hingar-bingar sibuknya para mahasiswa menuntut ilmu, terselip ide beberapa mahasiswa untuk malakukan pendakian, entah "beberapa" mahasiswa ini jenis mahasiswa apa, mereka seperti tak terkategori sebagai para penuntut ilmu pada umumnya, setidaknya kata Man jadda wa jadda tak berlaku bagi mahasiswa tipe ini, yang ada hanya bagaimana disela sibuknya mahasiswa menuntut ilmu itu harus tercapai maksut hati untuk naik gunung, mungkin ini yang disebut mahasiswa alasan, anda tau ayam alasan? ayam alasan tak pernah mau terkungkung dalam penjara kurungan, dia lebih memilih berkeliaran bebas sampai menemukan persinggahannya, ya seperti itulah mereka. Jangan dianggap jika kalimat pembuka diatas tidak seperti kenyataannya,
Suroan, sebutan dari orang jawa dalam pergantian tahun dalam penanggalan Jawa, atau Muharam dalam penanggalan Islam. Menurut Mitologi kebudayaan Jawa, saat paling sakral adalah saat 1 suro, entah ada apa didalammnya, tapi dalam unek-unek otakku, sakral yang dimaksut adlah terkait dengan pergantian tahun, dengan segala hal yang terjadi ditahun sebelumnya, suatu ke-sakral-an untuk memulai aktifitas koreksi semua ditahun sebelumnya dengan harapan ditahun berikutnya bisa lebih baik lagi, entah koreksi dalam bentuk renungan, do'a, ritual ataupun yang lain. dimoment 1 Suro inilah saat yang paling ditunggu bagi "beberapa" mahasiswa ini untuk melihat langsung ritual budaya penduduk gunung Lawu dalam peringatan pergantian tahun baru Jawa dan mungkin ikut berkesempatan melihat akitifitas ziarah "makam" atau mungkin lebih tepatnya petilasan Prabu Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Majapahit, yang dipercaya penduduk setempat pernah menetap di puncak gunung Lawu saat terjadi pengejaran dari Kerajaan Demak Bintoro. Sudah pasti ingin merasakan pasar malam di gunung, gunung yang terlihat sepi akan terlihat sangat ramai saat ada moment Suroan.
Rabu, 15 November 2012
Berkumpullah para pemuda dari berbagai jenis topologi manusia, mulai dari hidung mancung, rambut kriwol, kulit putih, hitam, badan kurus, perut buncit, tinggi semampai Sesuai dengan komitment yang terucap bersama-sama mendaki gunung Lawu. Terhitung ada 14 mahasiswa aktif berkumpul di parkiran Jurusan FMIPA ITS berniat menuju Terminal Bunguraseh Surabaya, dengan segala keribetan makluk Indonesia, rasa-rasanya jam molor sudah menjadi makanan sehari-hari, rencana berangkat jam 13.00 WIB menjadi berangkat jam 14.00 WIB. Baiklah, tak usah saya uraikan panjang lebar alasan molor karena saya yakin anda semua bisa menebak, banyak alasan menuju pembenaran.
Di jantung Terminal Bungur 14 mahasiswa ini berkumpul, menunaikan sholat sembari menunggu 1 mahasiswa fresh graduate untuk merapat bersama. Sekitar jam 16.00 WIB ke-15 remaja ini berangkat menuju Terminal Maospati Magetan. Setelah sampai sekitar jam 22.00 WIB, bergabung lagi 1 alumni mahasiswa STAN untuk turut serta melakukan pendakian, dengan aksi tawar menawar seperti para pedagang pasar Atom Surabaya, menawar harga carter mobil menuju basecame Lawu jalur cemoro sewu, magetan. Dan pasti anda semua bisa menebak, perang tawar menawar harga carteran dengan kondisi minimnya pengalaman berdagang seorang mahasiswa melawan celoteh sang calo sebagai orator para sopir, dari harga Rp 30.000/ orang yang ditetapkan, tak seperserpun berubah akibat perang tawar menawar.
Jam 23.30 WIB, 16 mahasiswa yang biasa disebut Ade, Umar, Wong Bulu, dio, khoiron, mas Rizal, wawat, emma, anik, ato', aziz, pandi, miko, doni, egy, Rosyid sampai di basecam Cemoro Sewu Lawu.
"Krik..kriiik..krikk" suara jakrik sebgai penanda heningnya suasana gunung tak terlihat sama sekali, yang ada hanya suara besingan motor, suara tapak-tapak kaki seperti suara para prajurit saat bertempur di medan perang. satu kate "rame beeeuuut" (penambahan e dan u menandakan sangat-sangat dan sangat). Dingin yang menusuk disertai rengekan cengeng perut memaksa kita untuk makan sebelum pendakian. Selamat makan !!!
Kamis, 16 November 2012
Tepat jam 01.30 WIB kita memulai pendakian. Seperti biasa, ketakutan menjadi alasan ampuh untuk berdo'a, dengan latar belakang pernah menjadi santri KH Abu bakar Ba'asyir, ade memimpin do'a dengan khidmat disertai ceramah singkatnya.
Kepingan-kepingan semangat mulai menggumpal menjadi tenaga, melawan dingin menapaki jalanan menanjak. Baru selang bebarapa langkah, emma dan anik melakukan manuver dengan mengikuti pendaki lain ke arah yang salah, entah itu bagian dari candaan mereka atau tidak, saya tak tahu, tapi yang jelas hal itu sangat lucu. Tak terbanyangkan jika kita tidak meneriaki mereka untuk kembali ke barisan rombongan yang benar, rombongan sirotol mustaqim.
Suara-suara tapak kaki dari pendaki lain menjadi alunan irama yang memecahkan kesunyian, benar dugaan kita, walau kita naik jam 1 pagi tetap saja masih ramai, memang benar-benar seperti pasar malam, berdesak-desakan untuk memilih jalan. Bahkan kitapun bersimpangan jalan dengan motor dan mobil bertenaga truk, Bisa dibayangkan betapa ramainya saat itu?
Dengan kondisi kecapekan akibat otak mutar saat kuliah hari rabu dan juga perjalan jauh Surabaya-Basecam membuat kita harus istirat lama sebelum melanjutkan ke puncak. Sekitar jam 02.30 WIB, kita sampai di Pos 2. Tak seperti biasanya pos-pos gunung lain, saat Suroan gunung lawu memang beda, di pos 2 hampir-hampir kita tak dapat tempat untuk tidur, terpaksa harus untel-untelan saat tidur. Bahkan si raja pulsa, Dio, tidur ala pertapa hanya dengan duduk sambil menundukan kepala, kalau pertapa mungkin mencari wangsit tapi beda dengan Dio, dia bertapa untuk mencari sinyal. Dengan ramainya suasana, sayapun enggan untuk tidur, akitifitas bermain poker manjadi daya tarik tersendiri dalam mengisi waktu begadang ditemani ekstra joss hangat dengan goreng-gorangan, jangan kaget ada jajanan. hampir disetiap pos gunung lawu ini terdapat warung siap saji yang buka dan tentunya dengan harga agak berbeda dari warung biasanya.
Tepat jam 05.30 WIB. kita memulai pendakian ke puncak lagi, inilah saat-saat paling melelahkan antara Pos 2 sampai Pos 3 hampir-hampir berisi tanjakan tiada bonus.
Keluh kesah hampir-hampir tak dapat tertahan jika tak diimbangi dengan candaan-candaan, berbagai macam variasi candaan, mulai dari enyek-enyekan, entut-entutan, melirik pendaki yang bersimpangan menjadi media efektif melawan lelah. Meskipun ujung-ujungnya lelah juga.
Sekitar jam 08. 00 WIB, kita sampai di Pos 3. Masih seperti sebelumnya, di Pos 3 pun terlihat ramai dengan pendaki-pendaki lain yang singgah, tapi di Pos 3 ini tak ada warung seperti di Pos 2. Ritual penolak capekpun kita lakukan, berfoto-foto, tak bisa dibanyangkan saat itu jika tak ada kamera, bagi kami pendaki pemula, foto ibarat asupan tenaga yang wajib ada.
Dikanan-kiri hanya terlihat tebing bukit tingi menjulang, jalanan terasa semakin memaksa keringat keluar ke peraduannya, tak terhitung berapa liter keringat yang keluar, mungkin jika bisa di jual eceran lumayan buat beli makan selama seminggu. Didepan mata hanya terlihat batu-batuan besar tertata seperti anak tangga berbentuk jalan makadam, tak terlihat ujung jalan berbatu ini, seperti kita menaiki sebuah anak tangga yang tak ada habisnya, mungkin inilah mengapa para pendaki menyebut track ini dengan sebutan Rante Ondo.
"Bentar rek, santai dulu. capek" hampir semua berkata demikian.
"Tooooot." Sebuah bunyi panggilan alam dari dalam perut, entah siapa yang memulai, seakan kentut sudah menjadi sebuah ritual yang harus dilakukan saat menapaki jalanan naik.
"Ayo rek, bukan gunungnya yang harus ditaklukan tapi diri kita sendiri, rasa malas harus kita taklukan, puncak menunggu kita" bertuturlah Umar faruq(jangan terkecoh dengan nama, meski nama mirip salah seorang khalifah rosyidah, tapi percayalah, itu semua tak tercermin dalam dirinya).
Kelelahan kaki menapaki rante ondo membuat salah satu tim harus memulai candaan sebagai mediasi kelelahan dan kekuatan, seperti tersiram air dingin, melintas dengan anggunnya seorang bidadari yang entah dari mana, rambut hitam terkurai lurus, bibir dengan gincu alami menandakan dia wanita rumahan yang jarang berpanas-panasan.
"Ayoo reek, ngarep ono kera betina" entah siapa yang berucap.
Tuhan memang Maha Adil, diciptakan keindahan dengan sempurna, ditengah teriknya matahari, disela tanjakan tak berujung, dimunculkan sosok wanita yang menyegarkan mata. Bukan sebagai hidung belang tapi pengagum ciptaan Tuhan, seloroh salah seorang gerombolan.
Putih, berserahkan ditanah, samping kanan hanya terlihat pemandangan bukit beserta atap-atap kota, lintasan awan hanya terlihat menyingkir tanpa mau menaungi, terasa sekali terik sinar matahari ditengah sisi kanan jalan yang anpa pohon.
Batu kapur orang sering menyebut nama Pos 4 itu, tepat jam 09.00 WIB kami sampai di Pos 4, sebagai tanda berakhirnya penderitaan menapaki tanjakan Rante Ondo, setelah mengisi tenaga dengan foto, timbul pikiran untuk langsung naek ke atas. perut yang tak tertahankan melibatkanku untuk lepas dari tim dan berjalan mendahuli ke Pos 5, mengisi perut di warung.
Dengan cakra yang sedikit tersisa,saya sebagai seorang berdengkul lemah memulai menapaki jalanan seorang diri hanya dengan semangat mencari makanan. Meengabaikan rasa lelah dengan terus melangkah, sebuah motivasi hidup yang sederhana tapi sangat efektif mengahasilkan tenaga dari dalam, orang Cina bilang, aliran chi yang tersimpan dari dalam harus segera dikelauarkan agar bisa menjadi tenaga yang luar biasa dalam hidup.
Tepat jam 09.45 WIB, saya sampai dipertama menuju warung pusat Mbok Yem, bau harum gorengan, memaksa diri yang lapar ini untuk bersegerah berhenti ke peraduan warung.
Setelah dirasa terisi, Tim melanjutkan perjalanan menuju warung Mbok Yem sebgai tempat singgah terakhir pendakian.
Jalanan mulai terbuka, kita berada disekitar ketinggian 3000 M, angin berhembuis dengan pongahnya, tanpa peduli ada orang lewat. Tak terlihat pohon-pohon besar, yang ada hanya rimbunan kering cemoro kecil yang tak bisa dibuat berteduh dari panas. berbelok menikung layaknya Michael Schumacher dalam pertandingan F1. Sendang tak terlihat air didalamnya, semua kering, warung-warung yang ada hanya menyimpan air yang terbatas untuk keperluan mereka. Namun sedikitnya iar tak menyurutkan langkah kami untuk bersegerah sampai di warung Mbok Yem.
Mungkin rasa penasaran yang menginggapi perasaan teman-teman akan sosok Mbok Yem?
Menerut desas-desusu yang beredar, beliau adlah kuncen Hargo Dalem (pesanggrean/makam Prabu Brawijaya V), beliau hanya tinggal di warung dengan melawan dinginnya aingin selama hampir 20 tahun tanpa melihat situasi dataran bawah.
Tepat jam 10.30 WIB, kita sampai di warung Mbok Yem. sebuah tempat persinggahan yang nyaman dalam melepas lelah. sambil makan menunggu esok melihat sun rise di puncak Hargo Dumlilah. Jangan dibayangkan warung Mbok Yem, seperti motel-motel yang tersedia kasur dan bantal, semua serba alami. Langit-langit warung yang hanya tertutup terpal, dinding-dinding warung yang hanya berhias slogan sponsor atau reklame, lantai yang hanya tahta tanah pasir yang setiap saat bisa menimbulkan iritasi pada mata, terlepas dari kesederhanaan warung Mbok Yem, tempat itu sungguh sangat nikmat bagi pendaki gunung lawung yang tak bawa tenda. Servispun tak kalah memuaskan dengan hotel bintal lima. tak perlu repot-repot memasak makanan ataupun membuat minuman sendiri, tinggal bilang "Mbok, nasi soto satu sama teh anget", tinggal tunggu beberapa menit pesanan akan segera diantar, percayalah lebih hebat dari delivery manapun.
Semakin malam, semakin tampak kepadatan orang yang datang bersinggah, mulai dari orang tua umur 70-an sampai anak-anak kecil umur 7 tahunan pun berdatangan, tujuannya saya kira hanya satu, ingin melakukan ritual Suro dipuncak hargo dumilah, entah apa bagaimana bentuk ritualnya, saya sendiri belum sempat melihat secara langsung, numun dari sedikit perbincangan saya dengan pak anton dari lampung, beliau menuturkan
"Pak dari mana?" ujarku memulai pembicaraan
"Dari lampung mas, masnya dari mana?" belas pak Anton
"Wah jauh ya pak, dari Surabaya pak, sudah dari kapan dipuncak pak?" cerca tanyaku seakan terus mencari apa penyebab orang lampung sampai mau kesini
"Sudah dari hari selasa mas, ingin ikut suroan dsini" balasnya dengan senyum merekah. seakan beliau menunggu teman ngobrol.
"Oww.. gimana sih pak ritual suroan itu, dari tadi tak perhatikan kok banyak orang yang ingin melakukan ritual Suro tapi hanya tidur-tiduran di warung saja" kembali cerca pertanyaanku mengerutkan dahi pak Anton
"Ya ritual mas, Suroan kan sama artinya memperingati malam pergantian tahun baru, bedanya cuma ini pergantian tahun Jawa atau Islam menyebutnya 1 Muharam, bahasa umumnya sama dengan refleksi akhir tahun, cuma dikombinasikan dengan adat Jawa, ya bisa dengan berdo'a. yang muslim ya berdo'a menurut keyakinan Islam, yang Hindu juga menurut keyakinannya mas" jawab pak Anton
Malam yang semakin dingin membuat pak Anton bergegas masuk kedalam warung, dengan senyum puasnya sebgai tanda akhir perbincangan kita.
Jum'at, 17 November 2012
Dingin semakin menusuk, sleeping bagpun tak kuasa menahan derah angin malam, tubuh seakan jatuh di kolam es, menggigil dan terus menggigil, semenatara jam menunjukan angka 3 pagi, semua tim bersiap menyambut sang surya diatas ketinggian Lawu, Langkah kaki seakan tertimpa batu besar tak mampu melangkah, sementara jantung terasa berdegub dengan kencangnya, masih yang menjadi musuh trerbesar adalah angin yang menusuk tulang.
"Rek, tungguuu. alon-alon rek" hampir semua berkata demikian
Semua serasa membeku dibentangan alam, yang ada hanya sisa-sisa semangat melihat sun rise diatas puncak. kembali saling memotivasi satu sama lain menjadi riual wajib agar sampai di puncak, menghilangkan keegoisan, menumbuhkan tali kebersamaan, berhenti satu berhenti semua, jalan satu jalan semua.
MESTAKUNG, dengan niat yang baik, usaha yang keras, semesta lawu pasti mendukung. Akhirnya Tuhan menginkan tim ini menginjakan kakinya dibatas atas 3.265 Mdpl Lawu.
Tuhan, jika bukan karena kecintaanmu pada kami, niscaya kami tak dapat melhat betapa gagahnya ciptaanmu, gunung-gunung tingggi menjulang sebagai pasak bumi yang tak mungkin bisa digapai kecuali dengan ijinmu. sekali lagi Kau ijinkan anak-anak manusia ini melihat keagunganMu dalam mencipta. Tiada daya dan upaya kecuali dari diriMu.
Tepat jam 04.30 WIB, Tim sampai di puncak gunung lawu 3. 265 Mdpl. Melewati waktu Suro di gunung Lawu, tapal batas Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dikanan-kiri hanya terlihat tebing bukit tingi menjulang, jalanan terasa semakin memaksa keringat keluar ke peraduannya, tak terhitung berapa liter keringat yang keluar, mungkin jika bisa di jual eceran lumayan buat beli makan selama seminggu. Didepan mata hanya terlihat batu-batuan besar tertata seperti anak tangga berbentuk jalan makadam, tak terlihat ujung jalan berbatu ini, seperti kita menaiki sebuah anak tangga yang tak ada habisnya, mungkin inilah mengapa para pendaki menyebut track ini dengan sebutan Rante Ondo.
"Bentar rek, santai dulu. capek" hampir semua berkata demikian.
"Tooooot." Sebuah bunyi panggilan alam dari dalam perut, entah siapa yang memulai, seakan kentut sudah menjadi sebuah ritual yang harus dilakukan saat menapaki jalanan naik.
"Ayo rek, bukan gunungnya yang harus ditaklukan tapi diri kita sendiri, rasa malas harus kita taklukan, puncak menunggu kita" bertuturlah Umar faruq(jangan terkecoh dengan nama, meski nama mirip salah seorang khalifah rosyidah, tapi percayalah, itu semua tak tercermin dalam dirinya).
Rante Onde yang melelahkan |
Kelelahan kaki menapaki rante ondo membuat salah satu tim harus memulai candaan sebagai mediasi kelelahan dan kekuatan, seperti tersiram air dingin, melintas dengan anggunnya seorang bidadari yang entah dari mana, rambut hitam terkurai lurus, bibir dengan gincu alami menandakan dia wanita rumahan yang jarang berpanas-panasan.
"Ayoo reek, ngarep ono kera betina" entah siapa yang berucap.
Tuhan memang Maha Adil, diciptakan keindahan dengan sempurna, ditengah teriknya matahari, disela tanjakan tak berujung, dimunculkan sosok wanita yang menyegarkan mata. Bukan sebagai hidung belang tapi pengagum ciptaan Tuhan, seloroh salah seorang gerombolan.
Putih, berserahkan ditanah, samping kanan hanya terlihat pemandangan bukit beserta atap-atap kota, lintasan awan hanya terlihat menyingkir tanpa mau menaungi, terasa sekali terik sinar matahari ditengah sisi kanan jalan yang anpa pohon.
Batu kapur orang sering menyebut nama Pos 4 itu, tepat jam 09.00 WIB kami sampai di Pos 4, sebagai tanda berakhirnya penderitaan menapaki tanjakan Rante Ondo, setelah mengisi tenaga dengan foto, timbul pikiran untuk langsung naek ke atas. perut yang tak tertahankan melibatkanku untuk lepas dari tim dan berjalan mendahuli ke Pos 5, mengisi perut di warung.
Dengan cakra yang sedikit tersisa,saya sebagai seorang berdengkul lemah memulai menapaki jalanan seorang diri hanya dengan semangat mencari makanan. Meengabaikan rasa lelah dengan terus melangkah, sebuah motivasi hidup yang sederhana tapi sangat efektif mengahasilkan tenaga dari dalam, orang Cina bilang, aliran chi yang tersimpan dari dalam harus segera dikelauarkan agar bisa menjadi tenaga yang luar biasa dalam hidup.
Tepat jam 09.45 WIB, saya sampai dipertama menuju warung pusat Mbok Yem, bau harum gorengan, memaksa diri yang lapar ini untuk bersegerah berhenti ke peraduan warung.
Setelah dirasa terisi, Tim melanjutkan perjalanan menuju warung Mbok Yem sebgai tempat singgah terakhir pendakian.
Jalanan mulai terbuka, kita berada disekitar ketinggian 3000 M, angin berhembuis dengan pongahnya, tanpa peduli ada orang lewat. Tak terlihat pohon-pohon besar, yang ada hanya rimbunan kering cemoro kecil yang tak bisa dibuat berteduh dari panas. berbelok menikung layaknya Michael Schumacher dalam pertandingan F1. Sendang tak terlihat air didalamnya, semua kering, warung-warung yang ada hanya menyimpan air yang terbatas untuk keperluan mereka. Namun sedikitnya iar tak menyurutkan langkah kami untuk bersegerah sampai di warung Mbok Yem.
Mungkin rasa penasaran yang menginggapi perasaan teman-teman akan sosok Mbok Yem?
Menerut desas-desusu yang beredar, beliau adlah kuncen Hargo Dalem (pesanggrean/makam Prabu Brawijaya V), beliau hanya tinggal di warung dengan melawan dinginnya aingin selama hampir 20 tahun tanpa melihat situasi dataran bawah.
Tepat jam 10.30 WIB, kita sampai di warung Mbok Yem. sebuah tempat persinggahan yang nyaman dalam melepas lelah. sambil makan menunggu esok melihat sun rise di puncak Hargo Dumlilah. Jangan dibayangkan warung Mbok Yem, seperti motel-motel yang tersedia kasur dan bantal, semua serba alami. Langit-langit warung yang hanya tertutup terpal, dinding-dinding warung yang hanya berhias slogan sponsor atau reklame, lantai yang hanya tahta tanah pasir yang setiap saat bisa menimbulkan iritasi pada mata, terlepas dari kesederhanaan warung Mbok Yem, tempat itu sungguh sangat nikmat bagi pendaki gunung lawung yang tak bawa tenda. Servispun tak kalah memuaskan dengan hotel bintal lima. tak perlu repot-repot memasak makanan ataupun membuat minuman sendiri, tinggal bilang "Mbok, nasi soto satu sama teh anget", tinggal tunggu beberapa menit pesanan akan segera diantar, percayalah lebih hebat dari delivery manapun.
Semakin malam, semakin tampak kepadatan orang yang datang bersinggah, mulai dari orang tua umur 70-an sampai anak-anak kecil umur 7 tahunan pun berdatangan, tujuannya saya kira hanya satu, ingin melakukan ritual Suro dipuncak hargo dumilah, entah apa bagaimana bentuk ritualnya, saya sendiri belum sempat melihat secara langsung, numun dari sedikit perbincangan saya dengan pak anton dari lampung, beliau menuturkan
"Pak dari mana?" ujarku memulai pembicaraan
"Dari lampung mas, masnya dari mana?" belas pak Anton
"Wah jauh ya pak, dari Surabaya pak, sudah dari kapan dipuncak pak?" cerca tanyaku seakan terus mencari apa penyebab orang lampung sampai mau kesini
"Sudah dari hari selasa mas, ingin ikut suroan dsini" balasnya dengan senyum merekah. seakan beliau menunggu teman ngobrol.
"Oww.. gimana sih pak ritual suroan itu, dari tadi tak perhatikan kok banyak orang yang ingin melakukan ritual Suro tapi hanya tidur-tiduran di warung saja" kembali cerca pertanyaanku mengerutkan dahi pak Anton
"Ya ritual mas, Suroan kan sama artinya memperingati malam pergantian tahun baru, bedanya cuma ini pergantian tahun Jawa atau Islam menyebutnya 1 Muharam, bahasa umumnya sama dengan refleksi akhir tahun, cuma dikombinasikan dengan adat Jawa, ya bisa dengan berdo'a. yang muslim ya berdo'a menurut keyakinan Islam, yang Hindu juga menurut keyakinannya mas" jawab pak Anton
Malam yang semakin dingin membuat pak Anton bergegas masuk kedalam warung, dengan senyum puasnya sebgai tanda akhir perbincangan kita.
Jum'at, 17 November 2012
Dingin semakin menusuk, sleeping bagpun tak kuasa menahan derah angin malam, tubuh seakan jatuh di kolam es, menggigil dan terus menggigil, semenatara jam menunjukan angka 3 pagi, semua tim bersiap menyambut sang surya diatas ketinggian Lawu, Langkah kaki seakan tertimpa batu besar tak mampu melangkah, sementara jantung terasa berdegub dengan kencangnya, masih yang menjadi musuh trerbesar adalah angin yang menusuk tulang.
"Rek, tungguuu. alon-alon rek" hampir semua berkata demikian
Semua serasa membeku dibentangan alam, yang ada hanya sisa-sisa semangat melihat sun rise diatas puncak. kembali saling memotivasi satu sama lain menjadi riual wajib agar sampai di puncak, menghilangkan keegoisan, menumbuhkan tali kebersamaan, berhenti satu berhenti semua, jalan satu jalan semua.
MESTAKUNG, dengan niat yang baik, usaha yang keras, semesta lawu pasti mendukung. Akhirnya Tuhan menginkan tim ini menginjakan kakinya dibatas atas 3.265 Mdpl Lawu.
Tuhan, jika bukan karena kecintaanmu pada kami, niscaya kami tak dapat melhat betapa gagahnya ciptaanmu, gunung-gunung tingggi menjulang sebagai pasak bumi yang tak mungkin bisa digapai kecuali dengan ijinmu. sekali lagi Kau ijinkan anak-anak manusia ini melihat keagunganMu dalam mencipta. Tiada daya dan upaya kecuali dari diriMu.
Di puncak lawu, Hargo Dumilah |
Tepat jam 04.30 WIB, Tim sampai di puncak gunung lawu 3. 265 Mdpl. Melewati waktu Suro di gunung Lawu, tapal batas Jawa Tengah dan Jawa Timur.