Disuatu tempat jauh sana, tepat di jantung kota Mesopotamia terdapat hiruk pikuk perkelaian antara pembesar kota. Mereka memperdebatkan cara pandang tuan tiran yang menguasai Mesopotamia. Hanya ada dua baris undang-undang yang dibuat disana
Pasar 1 ; Tuan tiran tidak pernah salah
Pasal 2 ; Jika si Tuan melakukan kesalahan maka kembali ke pasal pertama
Para pembesar mulai muak dengan aturan yang ada, timbul gejolak sosial luar biasa, aksi masa versi 4000 SM dengan melakukan kudeta berdarah pun terjadi, tak terhitung banyaknya korban yang bergelimpungan mengisi ruas-ruas jalan arteri kota, hanya satu tuntutan para pembesar saat itu "ganti tuan Tiran". berbagai alternatif islah dari kedua kubupun dilakukan, satu hal yang mereka sepakati, Kembalikan semua kepada kyai Dhemos dan pangeran Kratos.
Itulah sebait cerita munculnya kyai Dhemos dan pangeran Kratos, versi Buluisme.
Secara literal Dhemos berarti rakyat, dia disimbolkan sebagai yang berpengaruh sedangkan Kratos berarti kekuasaan, saya analogikan menjadi pengeran karena pengeran adalah sosok yang bergelimang tahta dan kekuasaan.
Jika digabungkan akan menjadi Dhemos-Krotos, ah penyebutannya kurang enak didengar, baiklah sesuai kenyamanan publik, kita sepakati dengan Demokrasi. ini hasil kunker saya ke Athena lhooo..
Karena demokrasi adalah makhluk terindah hasil karya ummat manusia selama
peradaban, dan manusia Jawa meromantisirnya dengan sebutan kiai Demos dan pangeran Kratos. Makluk penjunjung demokrasi sangat meyakini bahwa
puncak pencapaian kecerdasan dan nurani mereka sejak “Renaissance” ini
belum pernah digapai oleh ummat manusia pada era manapun sebelumnya:
Atlantis dan Lemorian, Hastinapura, Inka dan Maya, Hud iradzatim’imad,
ribuan tahun Dinasti Pharao, Jawa-Dwipa, Medang Kamulan, atau kurun
apapun, tidak juga pernah dicapai oleh makhluk Laserta, Smarabhumi, Nyi
Roro Kidul dan siapapun. Kiai Demos dan pangeran Kratos, yang melahirkan “maha” – teknologi, dari gedung-gedung sangat tinggi hingga se-debu chip yang dipasang di jidat setiap orang, dunia maya yang memperkerdil jagat menjadi segenggaman tangan, bozone dan fermione, nano technology,
persenjataan kimia rahasia, atau apapun ; sama sekali jangan
dibandingkan dengan teknologi lidi lombok pawang hujan, helai rambut
santet, celak-Arab dan tanah kuburan Jin, Ilmu Katuranggan, takir Dewi
Sri, dan apapun yang dibangga-banggakan di masa silam dan terkenal kehebatannya.
Semua orang menjunjung demokrasi. Semua orang merasa salah, bodoh dan
dekaden kalau ragu terhadap demokrasi. Tidak ada pidato Presiden, bahkan
Soeharto, apalagi sesudahnya, yang tak mengerek bendera demokrasi. Tak
ada pendapat dalam diskusi, perdebatan dalam talk-show, seminar,
disertasi dan tesis, pun pidato pak Lurah dan ketua RT, bahkan ketika
terbaring sendiri di bilik pribadi, kita bergumam-gumam sendiri “I love you democracy!” dalam pikiran dan hati. Itu tak lain karena saking sucinya demokrasi. Saya tertarik dengan istilah "Demokrasi itu bak 'perawan', yang merdeka dan memerdekakan".
Anda tau perawan?
Tentu mereka bisa memerdekan disaat kita mabuk asmara dan mengawininya, dan dia juga merdeka tidak terikat dengan laki-laki, begitulah demokrasi, kurang tepat jika kita menyalahkan semuanya kepada kyai Dhemos dan pangeran Kratos ini, apapun yang terjadi seharusnya kita bersyukur dengan kedatangannya.
Kalaupun ada kesalahan karena sistem yang terbuka ini, bukan salah demokrasi donk karena yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja
peradabannya yang bernama Ilmu Kesehatan. Yang mengantisipasi video
porno adalah Moral dan Keselamatan Hidup. Yang merespon pertukaran suami
istri adalah Keseimbangan Sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput
adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.
Demokrasi itu perawan suci yang yatim dan piatu. Tak punya Bapak Ibu,
nasabnya belum pernah diperjelas. Ia memerdekakan manusia
sepenuh-penuhnya. Semua dan setiap manusia sangat membutuhkan kesucian
demokrasi, sebagian untuk tempat berlindung, dan sebagian lain untuk
melakukan eksploitasi dan subversi pengkhianatan nilai. Watak utama demokrasi adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep
menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan
berhak hidup bersama si Perawan, bahkan berhak memperkosanya: yang
melarang memperkosa bukan si Perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”nya
yang bernama Moral dan Hukum.
Si perawan bisa ditunggangi oleh kaum kapitalis di Eropa untuk menyingkirkan kekuasaan gereja dan dulu kerajaan-kerajaan. Dan sesudah kapitalisme menguasai panggung bangsa dan masyarakat, demokrasi tidak mengharuskan para kapitalis untuk bersikap demokratis, karena demokrasi tidak memiliki karakter untuk mengharuskan. Nah, kalau sudah begitu sudah seharusnya kita kembali ke adat makluk Indonesia, menghormati kyai Dhemos dan pangeran Kratos ; Menghormati yang tua, menyayangi yang muda.
0 comments:
Posting Komentar
sampaikan unek-unekmu....!!!