Photobucket

Rabu

Sekali Lagi, Lailaku



Suatu saat kau marah dan akupun marah akan sikapmu, memang jarak adalah laknat sialan bagi para pecinta, tak mengerti arti bertemu. ketika kita sudah benar-benar dilahap waktu dan jarak. Kita akan belajar arti bersama. Ketika kau tersenyum dan aku terdiam. Waktu melambat dengan segala ketergesahannya. Tapi kukira ada yang lebih seru  dari sekidar saling merinrindu. Yaitu perihal usahamu untuk mengerti aku, perihal kesabaranmu yang seperti muara. Juga ketabahanmu yang tak pernah jera. Kukira aku perlu belajar untuk bisa mencintai utuh sepertimu sayangku.

Barangkali pula ada yang lebih bijak daripada sekedar menulis dan berbicara. Ia adalah tindakan. Semisal cita-cita untuk membahagiakanmu, atau tentang menemanimu disana minum jamu yang menakutkanmu, atau menyeka pelan keringatmu ketika kita berdua menikmati mie yang sangat bedebah pedasnya. Aku, lebih dari siapapun di dunia, ingin bisa menunjukan tindakan padamu daripada hanya sekedar kata-kata manis.

Tapi seperti yang selalu kubilang. Hidup tak akan pernah sebrengsek ini apabila setiap keinginan kita terkabulkan. Manusia seringkali dipaksa memejalkan diri, menyabung nasib hingga tahap yang paling kalis untuk bisa sedikit lebih dekat dari keinginannya. Manusia lantas bersiasat soal keinginannya, memendam gelora sedemikian rupa hingga tanpa sadar keinginan itu lantas padam. Kukira hidup hanya sekedar barisan-barisan kekecewaan. Kamu tahu itu kasihku?

Beberapa dari kita begitu keras memendam keinginan sehingga ia menjadi robot. Menjalani hidup secara otomatik. Manusia yang menjadi sekrup untuk menggerakan sebuah mesin raksasa bernama masyarakat adil dan makmur. Lantas mereka menjadi mayat hidup. Sebuah entitas organik yang tak lebih dari pelumas dari organisme brengsek raksasa bernama pemerintah.

Aku tau kita tak begitu sayangku. Aku tau kita tak akan pernah mau menjadi itu semua. Lebih dari apapun yang ada. Kita ingin menjadi seorang tumbal, sebuah sekrup, setetes pelumas. Kita adalah manusia yang memilih merdeka ditengah jutaan mayat hidup di kota. Kita berdua menanam bibit mimpi. Merawatnya pelan-pelan. Memberinya pupuk harapan. Kita berjuang menumbuhkan keinginan ditengah belantara bernama ketidakpedulian.

Sayang. Kau tentu tahu bermimpi membutuhkan nyali. Bermimpi adalah pekerjaan gawat berbahaya yang hanya dilakoni oleh para pemberani. Mereka yang tahu benar dalam meraih mimpi kita hanya memiliki dua pilihan. Bertaruh habis-habisan atau kalah telanjang. Namun semua itu hanya perkara jalan hidup sayang. Hidup kita yang seringkali hanya bisa merintih perlu sesekali dilecut dengan ketakutan dan kengerian masa depan. Agar tak perlu ada lagi sedu sedan penantian.

Memang kita wajib berdo'a sayang. Doa yang barangkali hanya bisa kita rasakan. Seperti yang selalu kubilang sayangku. Puisi tak bisa dimengerti melalui hitung-hitungan rumus. Puisi selalu mewujud sebagai upaya mencari jati diri. Upaya untuk meredam segala yang wujud untuk memahami yang fana. 

Mungkin ini semua tak penting bagimu. Aku tahu kau tak suka hingar-bingar dunia maya, Tak ada waktu bagimu untuk sekali lagi menjerat makna dari tulisan sentimentil ini. Tapi bagiku sayang, ketika kau jatuh cinta dan mencintai. Hidup adalah keberanian untuk berkata jujur. Bahwa diri ini tak lebih baik dari berak di jamban.

Terakhir sayang, Saat kau memanggilku abi, luluh lanta terasa sendi ragaku, aku berdo'a semoga Tuhan memudahkan jalan untuk aku yang biasa kau panggil sayang, abi, dadut, panda, mas dosen, bahkan abang bersegerah meminangmu, tungguh aku sayang. Dengan segelah kerendahanku, kabulkanlah Tuhan.


0 comments:

Posting Komentar

sampaikan unek-unekmu....!!!