Photobucket
Tampilkan postingan dengan label Satria Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satria Nusantara. Tampilkan semua postingan

Rabu

Dokter Pergerakan (Tjipto Mangunkusumo)


 Darah pemberontak leluhurnya yang terlibat dalam perang Diponegoro, perang yang menyebabkan terkurasnya harta benda kolonial Belanda, menurun ke dalam nadinya.  Tjipto yang dilahirkan tahun 1886 di Desa Pecangan, Jepara, Jawa Tengah ini memang layak disematkan sebagai Dokter Pergerakan, kiprahnya yang “mengawali” usaha menumbuhkan semangat kemerdekaan dalam makna luas sangat luar biasa. Sikap egalitarianismenya sangat kental, Meski selalu berpakaian Jawa akan tetapi watak Tjipto jauh dari Feodalisme.

Pendidikannya yang tinggi sebagai tamatan STOVIA – Sekolah Dokter Bumi Putra di Jakarta—tidak membuat sikapnya melunak  kepada penjajah, title Dokter justru akhirnya membuat dirinya menjadi tokoh nasionalis radikal, bahkan dimasa mudanya saat dia berumur 21 tahun, dr. Tjipto sudah menulis artikel yang mengkritik kebangsawanan, Ia tidak hanya melahirkan tulisan-tulisan yang garang, tapi juga tekun turun ke desa-desa memberi ceramah dan menggalang pemogokan sebagai upaya Tjipto untuk  menolak sikap kooperatif kepada kolonial Belanda.

Karir politiknya didapat saat Tjipto bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organisasi yang diprakasai  oleh oleh seorang Dokter juga, dr. Wahidin Sudirihusodo, ini membuat watak Tjipto semakin tau kondisi bangsa, Semangat nasionalismenya yang radikal membuatnya bersinggungan dengan tokoh Budi Utomo lainnya, puncaknya, saat terjadi di Kongres I Budi Utomo di Yogyakarta. Tjipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan sebagaian pengurus Budi Utomo lainnya ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa. Meskipun Tjipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang dia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Tjipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Tjipto bagi jamannya dianggap menyimpang bahkan cenderung radikal. Gagasan-gagasan Tjipto memang menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan akan tetapi belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme. Melihat jurang berbedaan paham yang cukup dalam di tubuh Budi Utomo, akhirnya Tjipto memutuskan mengundurkan diri dari Budi Utomo.

Tidak berhenti sampai distu, keadaan rakyat yang berada pada kemelaratan yang menyedihkan membuat Tjipto bergerak semakin keras, rasa nasionalisme yang dibalut dengan radikalisme pemikirannya membuat Tjipto bertemu kawan-kawan seperjuangannya, bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.  Baginya saat itu, Otonomi mandiri adalah harga mutlak yang harus didapat, selama masih ada sisa-sisa kolonial yang mengendarai otonomi bangsa tidak akan berhasil, dengan dua kawannya itu, Tjipto mendirikan Indische Partij (1912) bersamaan dengan tahun didirikannya Sarikat Dagang Islam (SDI) oleh Haji Samanhudi sebgai citra awal pergerakan umat Islam di Jawa. Wadah baru ini membuat Tjipto semakin garang, Bisa dibilang, Indische Patij adalah salah satu tonggok pergerakan yang bertujuan kemerdekaan bangsa. .

“Jangan khawatir, saya akan mengambil semua tanggung jawab itu.” 

Itulah ekspresi kesanggupan Tjipto untuk mencetak pamflet yang berisi kritik kepada pemerintah Kolonial Belanda yang mengadakan pesta sebagai pengingat akan 100 tahun lepasnya Belanda dari cengkraman Prancis, Di tanah kaum pribumi yang terjajah, belanda berani mengadakan pesta besar-besaran, hal itulah yang mendasari pembuatan pamflet berisi kritikan tersebuat, dan saat itu harus dicetak 5.000 ekslempar, dengan kondisi Belanda sebagai "tuan tanah", maka tidak ada yang berani mencetak dan menyebarkannya, namun lain bagi Tjipto, dengan berani dia menyanggupinya. Rasa ingin merdeka selalu digembor-gemborkan oleh dokter ini, dengan usahanya yang terus mengompori rakyat terutama kaum priyayi untuk turut serta berjuang mendepatkan kemerdekaan bangsa membuat kolonial belanda semakin gerang, pada puncaknya, Indische Partij dibubarkan dan dr. Tjipto Mangunkusumo dibuang di pulau Banda

Seorang dokter yang berani dengan semanagt nasionalimenya memulai langkah tujuan kemerdekaan bangsa, Seorang dokter yang berani terbuang demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan, seorang dokter yang berhasil memberantas wabah PES di Malang. dr. Tjipto Mangunkusumo adalah satu dari sekian banyak pemuda saat itu yang berani berteriak melawan penjajah. 




BACA SELENGKAPNYA - Dokter Pergerakan (Tjipto Mangunkusumo)

Kamis

Raja Jawa Tanpa Mahkota (H.O.S Tjokoaminoto)

 Ada yang pernah bilang kepada saya, "jika kamu ingin mengenal dirimu maka kenali dulu siapa dan bagaimana leluhurmu". Meski dalam batin saya menolak statment tersebut, tapi dilain sisi saya tergugah dengan statment itu, Bagi saya, bagaimanapun juga, tidak akan pernah ditemui seuatu aspek dalam diri manusia yang sama walau itu terkait dengan gen keluarga, diriku itu ya saya, dan dirimu itu ya kamu, dan leluhurmu juga lelehurmu. 

Tapi setidaknya statment itu yang menjadi gelora saya hari ini untuk menulis mendobrak kemalasanku sebagai orang pribumi, membubuhkan label baru "Satria Nusantara", bisa dibilang kilas balik para pelaku sejarah yang, setidaknya, memberikan ruang dalam diri saya untuk mengenal siapa mereka. Bukan sebuah pengkultusan individu (baca saja, pemujaan berlebihan terhadap orang tertentu) melainkan upaya saya untuk mencegah amnesia sejarah, khususnya kaum pemuda, seperti saya ini...ehehe

"... kita diberi makan bukan hanya karena kita dibutuhkan susunya.."

Seperti itulah ekspresi patriotisme Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam aksinya menentang penghisapan dan eksploitasi oleh pemerintahan kolonial.
Laki-laki kelahiran Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1883 ini memang tak memiliki pendidikan formal tapi pemikiran dan upaya perjuangan mengkompori rakyat untuk merdeka sangatlah luar biasa.

Karier Tjokro berawal ketika dia bertemu dengan Haji Samanhudi, pendiri Serikat Dagang Islam (SDI bukan S.I.D), sesuatu yang aneh memang, Tjokro lebih memilih SDI ini, bisa dibilang dia adalah tokoh yang berupaya keluar dari belengu-belenggu budaya Jawa, tidak mengherankan jika dia tidak memilih  Oragnisasi Budi Utomo sebagai wadah perjuangannya, padahal kalao dilihat dari silsilah keturannya, dia layak bergabung dalam organisasi ekslusif para pryayi itu.

Dia lebih memilih SDI sebgai wadahnya, sebagai anggota muda, dia tebilang kritis, terbukti saat itu dia mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi Sarikat Islam (SI) - tanpa meninggalkan misi dagangnya - agar lebih luas cakupannya. Dengan geraknya yang agresif dan totalitas, Tjokro berhasil membawa SI menjadi oraganisasi besar dan lebih dari sekedar urusan dagang, SI dirombaknya menjadi organisasi yang bertujuan meningkatkan taraf hidup dan perekonomian orang Indononesia secara umum, dan hal itu yang ditakuti kolonial belanda, dengan dukungan rakyat akan karakter H.O.S Tjokroaminoto  yang besar dan kepercayaan rakyat yang ditaruh dipundaknya menjadi cambuk api bagi kolonial, tidak heran jika kolonial Belanda saat itu menjulukinya dengan De Ongekroonde Van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", dan hal itu tentu memberikan anging segar kepada rakyat akan perubahan.
Hal yang kurang nampak dan perlu diwaspadai menurut kolonial saat itu adalah SI merupakan organisasi keagamaan, seperti yang kita semua ketahui bahwa Belanda telah membangun sistem keamanan mereka dengan  memerintah secara tidak langsung berdasar struktur adat pra-Islam serta mendukungnya - jika perlu melawan mereka yang mengklaim sebagai pemimpin Islam bagi rakyat sekitar - secara umum untuk membatasi kekuatan Islam di  Nusantara. Saat itu yang konsep bangsa Indonesia belum ada, umumnya orang di seluruh Nusantara belum berpikir kearah tersebut- Islam muncul sebagai sumber pencentus persatuan melawan penguasa asing, dan hal itu yang membuat Belanda sangat hati-hati dengan SI.

H.O.S Tjokroaminoto menyadari kekawatiran Belanda saat itu, dia semakin membawa SI masuk kedalam situasi perpolitikan, dengan agresi pemikiran dan perjuangannya melawan cengkraman tiran kolonial Belanda, Tjokro akhirnya merintis SI menjadi wadah politik dengan nama Partai Sarikat Islam, inilah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI), meski Tjokro secara tegas menolak paham komunis masuk kedalam struktur partai. Tapi saat Tjokro wafat tahun 1934, komunis berkembang pesat ditubuh organisasi yang dirintisnya itu.

Guru yang sukses adalah saat guru itu mempunyai murid-murid yang bisa menruskan perjuangannya, deretan nama pahlawan nasional pernah menjadi muridnya, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang dikenal dengan pendiri DI/TII dan  si banteng besar Indonesia , oekarno, mereka adalah penerus perjuangan H.O.S Tjokroaminoto,
"Tjokroaminoto adalah guru saya yang amat saya hormati. Kepribadian dan Islamismenya sangat menarik hati saya " Kata Soekarno





BACA SELENGKAPNYA - Raja Jawa Tanpa Mahkota (H.O.S Tjokoaminoto)