Photobucket

Rabu

Dan berkatalah Al-Qur'an

        Perkenalkan pembaca, namaku Al-Quran. Anda pasti sudah kenal saya, secara langsung maupun tidak langsung. Saya mewarnai dunia ini sejak abad ke 7 sampai sekarang ini, dikumandangkan di seluruh pelosok dunia. Dikenal dari kolong jembatan Jakarta sampai istana raja Arabia di pegunungan Alpen. Dari Bronx di megapolitan Rio de Janeiro sampai kantor -kantor elit di Silicon Valley. Dari syukuran kelahiran sampai berkabung atas kematian.  Aku praktis ada dimana-dimana pembaca, setiap detik jutaan orang membacaku. Aku adalah salah satu dari jutaan saudaraku yang menyebar di seluruh dunia.

Minggu yang lalu aku disumbangkan oleh seorang anggota DPR di perpustakaan daerah. Jadi selama seminggu ini aku mendapatkan rumah baru, aku beruntung sekali, di tempat baru ini temanku jadi banyak. Di tempat yang lama, aku cuma dipajang saja, tidak pernah dibaca. Dulu aku dijadikan mahar perkawinan anggota DPR itu dengan istri pertamanya, setelah dia bercerai karena istrinya pertamanya tidak mau dimadu, aku diserahkan ke perpustakaan daerah. Aku merasa gembira sekali, serasa lepas dari kubangan gelap, tiap hari dulu aku hanya melihat muka-muka masam, hubungan rumah tangga yg tidak harmonis, penindasan atas hak-hal istri, anak-akan yang tidak terdidik dengan baik. Begitu datang aku langsung disambut oleh penghuni-penghuni lama disini, yang paling tua di
sini dan paling gemuk itu namanya Veda, yang juga cukup tua walau tidak setua Veda ada Tipittaka, ada juga Injil, ada Taurat, ada Upanishad, ada Politica, Ada Republic, ada Divina Comedia, ada Das Kapital, ada banyak sekali teman-temanku disini. Walaupun begitu, aku tidak bisa langsung dekat sama mereka semua, yang paling dekat selama ini masih Injil, yang sedikit lebih tua daripada aku. Aku sering curhat dengannya, dia juga yang selama ini sering melindungiku dari olok-olokan teman-teman dari rak sebelah kiri, terutama Das Kapital yang suka menggangguku. Tapi aku senang di tempat baru ini, aku semakin dewasa, banyak yang kupelajari dari teman-teman baruku. Aku juga mengangkat adik, namanya Aqdas, yang terus terang kuakui kadang lebih dewasa daripada aku.

Di tempat baru ini aku ditempatkan bersama teman-teman dari jenisku, yang akhirnya aku malah sering diskusi dengan mereka semua. Dari diskusi-diskusi itu aku menjadi terbuka akan warna-warninya dunia filsafat, itu baru dari filsafat agama. Lebih beragam lagi kalau aku kadang-kadang mendengarkan percakapan-percakapan dari teman-teman yang berada di rak sebelah kiri. Dari diskusi itu, aku menjadi sering merenung sendiri,

Beberapa hari lalu aku diambil dan dibaca oleh seorang anak kecil, umurnya kira-kira 14 tahunan, pakaiannya kumal, celananya robek disana-sini, kulitnya hitam diliputi debu. Setelah menengok kanan kiri, dia mengambilku dan segera pergi ke meja dan membacaku. Sangat bahagia diriku pembaca sekalian, setelah sekian lama aku hanya dipajang, akhirnya ada juga yang membacaku.
Memang dia kurang lancar membacaku, tapi aku bisa merasakan aura kerinduan yang sangat dari tatap matanya dan desah suaranya saat membacaku. Tapi sayang pembaca, tak berapa lama kemudian petugas perpustakaan mengusirnya, disertai gertakan-gertakan yang memilukan hatiku. Tentunya bagi anak itu lebih memilukan lagi, aku melihat air mata menetes dipipinya. Aku sangat sedih sekali..

Para pembaca, terus terang saja, aku kadang iri sama Injil, Veda, Tipittaka, dan yang lain-lain. Bukannya apa-apa, tapi jelas semua mengakui bahwa mereka adalah ciptaan manusia, jadi kalau salah ya lumrah, lha pancen menungso iku akeh salahe kok. Tapi aku di rumah besar ini adalah satu-satunya yang dianggap produk Tuhan, dianggap sebagai kata-kata Tuhan, jadi kalau aku salah seperti salahnya aku tidak mengharamkan perbudakan, atau salahnya aku melakukan perhitungan
matematika dalam pembagian warisan, berarti yang salah Tuhan dong, karena aku adalah kata-katanya Dia. 

Aku bukan kata-kata Muhammad. Karena Muhammad hanyalah mediumku. Injil memang banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang edisi Latinnya. Tetapi Injil bisa berkilah bahwa memang dia ciptaan manusia, yang membuat adalah murid-murid Yesus. Veda juga bisa selamat dari tuduhan, karena memang dia ciptaan resi-resi, jadi kalau salah ya yang salah resi yang membuatnya. Tipittaka juga begitu, Sidharta kan juga manusia biasa, dia pasti bisa salah. Tapi aku, sekali lagi aku, aku adalah kata-kata Tuhan, sungguh pedih hatiku mengingat itu. Aku telah menghina Tuhan, tuhan segala alam. Aku telah digunakan umat untuk menghina tuhan, mengapakah tuhan yang segala
maha itu hanya mempunyai kata-kata terbaik seperti aku. Bahasaku memang indah, diksi-diksiku memang mumpuni, tapi aku konstekstual, aku ada karena keadaan, aku ada karena Muhammad butuh alat untuk menyadarkan kejahiliahannya umat. Muhammad butuh dogma sebagai alat, karena orang bodoh yang celakanya 99% manusia tergolong dalam golongan orang bodoh ini butuh dogma, butuh simbol, butuh balasan atas yang dilakukannya, butuh ancaman dan butuh hadiah. Muhammad sendiri tidak butuh dogma dan simbol, karena dia manusia sangat pragmatis dan sekaligus futuristik idealis.

Muhammad selalu mengingatkan akan bahaya kebodohan atau kejahiliyahan, karena dia tahu benar akan seperti apa umatnya sepeninggalnya. Waktu dia mau mati, aku ingat benar bahwa dia berkata “ Umatku..umatku…umatku…”, kekhawatiran yang tidak berlebihan jika melihat apa yang terjadi setelah dia meninggal. Yang mengantarkan jenazahnya hanya 5 orang, sedangkan yang lain ribut membicarakan vacuum of power. Umar dengan lantang akan menebas leher siapa saja yang bilang Muhammad meninggal, bibit-bibit kultus yang justru ada di kalangan sahabat-sahabat terdekatnya. Belum kejadian-kejadian memalukan beberapa lama setelah dia meninggal, istrinya Aisyah perang
dengan menantunya Ali bin Abi Thalib, cucunya Hasan dan Husein dipenggal kepalanya oleh orang-orang haus kekuasaan, semua sahabat terdekatnya mati terbunuh karena kecemburuan karena kekuasaan, Hidup lebih dari 14 abad membuatku menjadi saksi bisu kenaifan manusia,
terutama justru kenaifan jutaan pembaca setiaku. Yang sangat membuatku pedih adalah ucapan Muhammad Abduh sewaktu kembali dari perjalanannya ke Eropa, dia lebih melihat Islam di sana daripada di negeri-negeri yang selama ini mengaku sebagai negeri Islam. 

Nilai-nilai persamaan hak lebih dihormati di negeri yang sedikit sekali orang yang bisa membacaku, kesejahteraan rakyat kecil lebih terjamin di negeri-negeri itu, di saat korupsi dan komersialisasi diriku dijadikan propaganda politik oleh orang-orang yang mengaku Islam yang sering hanya demi
kepentingan sesaat semata. Jika hidupku memang ditakdirkan untuk menanggung beban ini, aku akan menjalaninya dengan berat hati. Sebenarnya lebih baik aku tiada atau mati saja, daripada hidup menanggung beban melecehkan tuhan. Daripada tiap detik dikumandangkan di seluruh dunia, tapi substansi nilaiku dibuang di pojok-pojok sejarah, sedangkan nilai-nilai normatifnya saja yang jadi keributan dimana-dimana.

Pembaca sekalian, doakan aku ya, biar Allah menguatkan hatiku menerima perlakuan makhluk-makhluk, menguatkan aku menghadapi penghinaan-penghinaan filosofis ini. Sudahlah, kurasa sudah cukup aku curhat, yang lain sudah pada tertidur. Weda sudah ngorok kudengar, Injil dan yang lain jg sudah tidak terdengar suaranya. Aku ingin tidur, kalau bisa selamanya, agar penderitaanku ini berakhir, penderitaan peradaban yg harus kusandang, oh malang sekali diriku. Terima kasih pembaca, sudah sudi mendengarkan keluh kesahku.
 

3 comments:

atus mengatakan...

bahasnya simpel tp isiny tinggi,nice share. thanx

Dodi mengatakan...

mksh mas,kemrn udh ngirm email tntang tulisnnya,hehe.dibukkan sj mas

kampongbulu mengatakan...

@mbak atus : thanks mbak.sering sering mampir dimari mbak ,,ehehe

@dony: belum saatnya don,isi kepala masih dikit,,wkwkwkwkw

Posting Komentar

sampaikan unek-unekmu....!!!